Kemerdekaan pers merupakan pilar esensial dalam negara demokrasi. Wartawan, sebagai garda terdepan yang menyampaikan informasi kepada publik, selayaknya dilindungi dan diberi kebebasan untuk menjalankan tugas tanpa dihantui rasa takut. Namun, realitas di lapangan kerap kali berbeda. Kekerasan terhadap wartawan masih sering terjadi, dan ironisnya, banyak kasus hanya berujung pada permohonan maaf dari pelaku.
Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh insiden yang menimpa wartawan CNN Indonesia TV, Diana Valencia, di lingkungan Istana Negara. Kartu identitas (ID) peliputannya sempat dicabut setelah ia mengajukan pertanyaan kritis terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada Presiden Prabowo Subianto. Kendati ID tersebut akhirnya dikembalikan setelah gelombang kritikan dari berbagai organisasi pers, kejadian ini menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia. Tindakan menghalangi wartawan dalam menjalankan tugas jelas melanggar Undang-Undang Pers.
Kasus Diana Valencia hanyalah satu contoh dari sekian banyak kekerasan yang dialami wartawan di Indonesia. Contoh lain yang aktual adalah kekerasan yang dialami Fadli, jurnalis Metro TV, oleh dua ajudan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Andi Sumangerukka, pada Selasa, 21 Oktober 2025. Saat itu, Fadli hendak mewawancarai gubernur terkait pelantikan mantan narapidana korupsi sebagai Kepala Seksi di Dinas Cipta Karya Pemprov Sultra. Tindakan represif yang dilakukan oleh ajudan gubernur ini memperlihatkan bahwa ancaman terhadap keselamatan wartawan tidak hanya datang dari masyarakat umum, tetapi juga dari aparat pemerintah.
Penyelesaian kasus kekerasan terhadap wartawan yang sering kali hanya berujung pada permohonan maaf merupakan bentuk impunitas yang mencederai rasa keadilan. Pelaku kekerasan seolah-olah kebal hukum, dan hal ini dapat memicu terjadinya kekerasan serupa di kemudian hari.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi wartawan. Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Ayat (2) menyebutkan bahwa pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Lebih lanjut, Pasal 8 menyatakan bahwa dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.
Selain itu, Pasal 18 ayat (1) UU Pers juga mengatur sanksi pidana bagi siapa pun yang menghalang-halangi tugas wartawan: “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghalang-halangi atau mempersulit wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan kekerasan dan penghalangan terhadap wartawan merupakan pelanggaran hukum yang serius. Aparat penegak hukum harus bertindak tegas dalam menindak pelaku kekerasan, tanpa pandang bulu. Permohonan maaf saja tidak cukup untuk menggantikan kerugian yang dialami wartawan, baik secara fisik maupun psikis.
Untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi kebebasan pers, perlu adanya perubahan paradigma di kalangan aparat penegak hukum dan masyarakat. Kekerasan terhadap wartawan harus dipandang sebagai kejahatan serius yang mengancam demokrasi. Selain itu, perlu ada edukasi berkelanjutan kepada masyarakat mengenai pentingnya peran pers dalam mengawal jalannya pemerintahan dan menyampaikan informasi yang akurat serta berimbang.
Jika kekerasan terhadap wartawan terus dibiarkan tanpa ada tindakan hukum yang tegas, maka kemerdekaan pers hanya akan menjadi retorika belaka. Kita harus memastikan bahwa wartawan dapat menjalankan tugasnya dengan aman dan nyaman, tanpa rasa takut menjadi korban kekerasan. Hanya dengan demikian, kita dapat mewujudkan negara demokrasi yang sehat dan berkeadilan.
Kekerasan terhadap wartawan di Indonesia masih menjadi masalah serius yang mengancam kebebasan pers dan demokrasi. Insiden-insiden kekerasan yang terus berulang menunjukkan bahwa perlindungan terhadap wartawan masih sangat lemah dan impunitas bagi pelaku kekerasan masih menjadi masalah utama.
Wartawan memiliki peran krusial dalam mengawasi jalannya pemerintahan, mengungkap kebenaran, dan menyampaikan informasi kepada publik. Namun, ketika wartawan menjadi sasaran kekerasan, kebebasan pers terancam dan masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang akurat dan berimbang.
Berbagai bentuk kekerasan dialami oleh wartawan di Indonesia, mulai dari intimidasi verbal, ancaman fisik, hingga penganiayaan dan pembunuhan. Kekerasan ini sering kali dilakukan oleh oknum aparat keamanan, pejabat pemerintah, atau kelompok-kelompok kepentingan yang merasa terganggu oleh pemberitaan wartawan.
Impunitas bagi pelaku kekerasan terhadap wartawan menjadi masalah serius yang memperburuk situasi. Banyak kasus kekerasan terhadap wartawan yang tidak diusut tuntas atau hanya diselesaikan dengan sanksi ringan. Hal ini mengirimkan pesan yang salah kepada masyarakat bahwa kekerasan terhadap wartawan dapat ditoleransi.
Pemerintah dan aparat penegak hukum harus mengambil tindakan tegas untuk melindungi wartawan dan memberantas impunitas bagi pelaku kekerasan. Beberapa langkah yang perlu dilakukan antara lain:
- Mengusut tuntas semua kasus kekerasan terhadap wartawan dan menindak pelaku dengan hukuman yang setimpal.
- Meningkatkan pelatihan bagi aparat penegak hukum tentang pentingnya kebebasan pers dan perlindungan terhadap wartawan.
- Menciptakan mekanisme perlindungan yang efektif bagi wartawan, termasuk memberikan pendampingan hukum dan bantuan medis jika diperlukan.
- Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebebasan pers dan peran wartawan dalam demokrasi.
Kekerasan terhadap wartawan bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah sistemik yang mengancam fondasi demokrasi. Jika kita ingin mewujudkan negara yang adil dan berkeadilan, kita harus melindungi wartawan dan memastikan bahwa mereka dapat menjalankan tugasnya dengan aman dan tanpa rasa takut.
Sudah saatnya pemerintah dan seluruh elemen masyarakat bersatu untuk menghentikan kekerasan terhadap wartawan dan menciptakan iklim yang kondusif bagi kebebasan pers di Indonesia. Hanya dengan demikian, kita dapat mewujudkan demokrasi yang sehat dan berkualitas.

 
																				 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 






